Pada tahun 2014, perusahaan penyedia layanan pesan instan WhatsApp diakuisisi oleh Facebook dengan nilai yang fantastis: 19 miliar dollar AS atau sekitar Rp 223 triliun.
Selain membuat para pemilik dan karyawannya kebanjiran duit -CEO WhatsApp, Jan Koum, konon mendapat “jatah” 6,8 miliar dollar AS- ketika itu banyak yang mempertanyakan motif Facebook mencaplok WhatsApp.
Sang raksasa jejaring sosial tersebut dicurigai ingin menguasai basis data pengguna WhatsApp yang pada saat pengumuman akuisisi sudah mencapai angka ratusan juta.
Basis pengguna WhatsApp ibarat peti harta karun buat Facebook, perusahaan yang sebagian besar pemasukannya berasal dari iklan.
Bayangkan duit yang bakal masuk ke rekening Facebook kalau perusahaan tersebut bisa, misalnya, menyalurkan promosi dari klien ke tiap nomor telepon yang menjadi identitas dari para pengguna WhatsApp.
Toh, kekhawatiran itu segera ditampik oleh pihak WhatsApp.
Melalui sebuah pernyataan resmi, Jan Koum menyatakan WhatsApp akan tetap keukeuh dengan model bisnisnya yang lama, yakni memungut iuran tahunan sebesar 1 dollar AS setelah pelanggan melalui masa pakai gratis selama setahun.
“Tak akan ada perubahan apapun bagi pengguna kami,“, kata Koum ketika itu dalam blog resmi perusahaan.
“WhatsApp akan tetap beroperasi secara independen. Anda akan tetap bisa menggunakannya secara berbayar,” tambah dia. Lalu yang paling penting, “Anda bisa yakin bahwa tak akan ada iklan yang mengganggu.”
Selama hampir dua tahun pasca akuisisi Facebook, WhatsApp memegang teguh janjinya dan menghadirkan pengalaman yang konsisten dan “bersih” untuk pengguna.
Tak ada iklan, game, stiker, kanal jualan, atau segala macam hal lain yang umum merecoki pengguna layanan sejenis di luar WhatsApp.
Di luar tambahan fitur seperti voice call dan akses dari desktop, layanan pesan instan yang memulai hidup sebagai alat update status ini bisa dibilang setia pada bentuknya yang lama.
Pun demikian dengan jalur pemasukan WhatsApp yang dari dulu hanya bersumber dari iuran tahunan.
Namun kini telah terjadi perubahan. Pada 18 Januari 2016, WhatsApp mengumumkan bakal mencabut biaya pemakaian sebesar 1 dollar AS per tahun. Artinya, layanan ini sepenuhnya tersedia gratis.
Kebijakan tersebut sudah mulai berlaku tak lama kemudian, pada 20 Januari 2016, kala pengguna WhatsApp disambut pemberitahuan bahwa aplikasi pesan instan itu bisa dipakai secara cuma-cuma “seumur hidup”.
Uang dari mana?
Dengan memangkas iuran tahunan, WhatsApp kehilangan satu-satunya sumber pendapatan. Lalu dari mana perusahaan ini akan mendapatkan uang?
Lagi-lagi, Koum menampik kekhawatiran bahwa pihaknya bakal melakukan sesuatu yang berpotensi mengganggu kenyamanan pengguna.
“Orang-orang mungkin bertanya bagaimana kami menjalankan WhatsApp tanpa menarik biaya langganan, atau khawatir bahwa pengumuman ini bakal menandai kehadiran iklan pihak ketiga,” tulis Koum dalam sebuah posting blog.
“Jawabannya adalah tidak akan ada iklan.”
Sebagai ganti pemasukan yang hilang, WhatsApp menyatakan bakal menjajaki kemungkinanan menawarkan sejumlah layanan berbayar untuk pengguna korporat.
Layanan ini nantinya bisa dipakai oleh entitas bisnis untuk berkomunikasi dengan pelanggan masing-masing tanpa perlu membayar biaya tambahan lain.
Koum mencontohkan komunikasi dalam proses verfifikasi transaksi antara konsumen dengan bank, lalu bisa juga pemberitahuan tertundanya penerbangan dari maskapai ke calon penumpang.
“Semua pesan tersebut sekarang disampaikan melalui jalur lain, yakni lewat telepon dan SMS. Kami ingin menguji aneka tools baru untuk membuat ini lebih mudah dilakukan lewat WhatsApp,” terang Koum. Masih belum jelas seperti apa nantinya layanan bisnis yang dimaksud.
Mengapa WhatsApp mengganti model bisnis yang tadinya menggarap konsumen jadi menyasar segmen korporat?
Perusahaan yang didirikan pada 2009 ini rupanya merasa bahwa penarikan biaya langganan seperti yang dijalankannya selama bertahun-tahun kurang bisa diandalkan untuk mengisi kas perusahaan.
Sebabnya, menurut Koum, adalah banyaknya pengguna WhatsApp yang tak punya kartu debit atau kredit untuk membayar biaya langganan.
Alhasil, basis pengguna WhatsApp yang kini sudah mencapai kisaran 990 juta, berlipat dua semenjak akuisisi oleh Facebook- pun tak bisa dimanfaatkan dengan optimal. Hingga kemudian diputuskanlah untuk menghapus biaya tersebut sama sekali.
Saat berbicara di Konferensi Digital Life Design di Munich, Jerman, awal minggu ini, Koum menjelaskan bahwa WhatsApp mencoba menerapkan model bisnis “commercial-participation”, sebuah bentuk evolusi model “freemium” di mana hanya pengguna tertentu saja yang dikenai biaya layanan.
Dalam hal ini, para pengguna itu adalah kalangan korporat yang bersedia membayar lebih untuk fitur premium atau volume yang lebih besar.
Pihak Facebook sendiri selaku pemilik WhatsApp tak menerapkan “deadline” tertentu bagi layanan chatting tersebut untuk mulai mendulang pendapatan besar.
Dengan demikian, menurut Koum, WhatsApp bisa fokus mendorong pertumbuhan pengguna tanpa takut kehilangan pelanggan yang tak bisa membayar, sambil sekaligus mencoba-coba peruntungan di ranah baru.
Keamanan terburuk
Langkah WhatsApp memasuki segmen korporat menimbulkan sedikit kekhawatiran soal keamanan informasi sensitif yang banyak beredar di bidang ini. Apalagi WhatsApp bisa dibilang belum memiliki reputasi mumpuni di bidang keamanan data.
Malah sebaliknya, perusahaan ini kerap tertimpa persoalan sekuriti.
Sebagai contoh, belum lama ini, pada September 2015, muncul kabar bahwa client WhatsApp versi web (desktop) memiliki celah berbahaya yang bisa dimanfaatkan untuk memasang malware di komputer pengguna.
Sebelumnya, sekitar pertengahan tahun lalu, WhatsApp dinobatkan jadi perusahaan teknologi terburuk dalam hal pengamanan privasi pengguna oleh The Electronic Fountier Foundation (EFF).
WhatsApp dinilai tak menerapkan praktik-praktik terbaik menurut standar keamanan industri teknologi. WhatsApp turut dipandang kurang transparan dalam menangani beberapa isu terkait privasi, misalnya penghapusan konten tertentu yang diimbau oleh pemerintah dan kebijakan terkait penyimpanan data pengguna.
Soal ini, WhatsApp menyatakan bahwa tiap pesan yang dikirim melalui layanannya dilindungi oleh enkripsi. WhatsApp juga tak menyimpan pesan pengguna di dalam server miliknya, dengan pengecualian pesan belum terkirim yang akan disimpan di server dengan waktu maksimal 30 hari sebelum dihapus.
Namun langkah-langkah di atas tak menjamin seratus persen bahwa informasi pengguna yang tersimpan dan dikirim lewat WhatsApp tak bakal diintip oleh pihak lain.
Laporan EFF menggarisbawahi absennya kebijakan yang mengatur prosedur penyerahan data pengguna ke pihak otoritas seperti pemerintah sebuah negara di dalam policy WhatsApp. Data pengguna WhatsApp, misalnya, bisa diminta tanpa memerlukan surat perintah dari pengadilan. Pengguna pun tak diberitahu apabila ada permintaan data dari pihak tertentu.
Terlebih, perusahaan yang menaungi WhatsApp, Facebook, dikenal memiliki sejarah mematuhi permintaan data pengguna oleh otoritas.
Urusan sekuriti data sendiri ibarat pedang permata dua. Si satu sisi, otoritas sebuah negara membutuhkan informasi untuk melacak hal-hal terkait keamanan seperti jaringan teroris yang kerap aktif berkomunikasi di media sosial, di balik tameng perlindungan enkripsi dan privasi.
Di sisi lain, pengamanan WhatsApp harus melindungi informasi-informasi sensitif yang tersimpan dan beredar lewat layanan tersebut, yang bisa saja dibobol dan dipakai untuk keperluan lain oleh pihak tertentu, misalnya hacker.
WhatsApp selaku penyedia layanan pesan instan terbesar pastilah sering digunakan untuk bertukar informasi penting oleh hampir semiliar pemakainya.
Sebelum kalangan perbankan dan maskapai ikut nimbrung sekalipun, WhatsApp sudah lazim dipakai ngobrol oleh tokoh penting penyelenggara pemerintahan, termasuk mungkin di Indonesia.
Basis pengguna WhatsApp berikut data-data mereka yang sangat besar jumlahnya boleh jadi akan menjadi magnet abadi yang akan selalu mengundang kekhawatiran bakal dieksploitasi, entah oleh hacker, otoritas, ataupun pengiklan.
sumber: tekno.kompas.com
0 comments:
Post a Comment